Kemarin, saat menghadiri undangan bimtek untuk sekolah-sekolah
yang ingin mengikuti program adiwiyata mandiri, salah satu program Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, aku bertemu lagi dengan guru SMK 2 Balikpapan
itu. Perempuan yang terbilang sudah tidak muda lagi, mungkin umurnya sudah
lebih dari setengah abad. Tapi setiap kali aku bertemu denganya, sepertinya ia
selalu dikelilingi oleh aura semangat yang bisa membuatku terkagum-kagum.
Beberapa bulan lalu, aku ditugaskan oleh kantor untuk menilai
sekolah-sekolah yang mengajukan diri sebagai calon sekolah adiwiyata nasional
dan salah satunya adalah SMK 2 Balikpapan. Seingatku waktu itu, aku tidak
melihat Bu Faridah berada di kumpulan guru-guru yang menyambut aku dan
rombongan tim atau mungkin aku yang belum meyadari kehadirannya karena waktu
itu sangat banyak guru yang hadir dan aku tidak dapat mengingatnya satu
persatu.
Beberapa bulan setelahnya, perwakilan dari setiap sekolah datang
ke kantorku untuk mengurus berkas-berkas adiwiyata yang kurang lengkap, salah
satu diantaranya adalah Bu Faridah. Aku ingat waktu itu dia datang sebelum
siang saat aku sedang melakukan verifikasi berkas sekolah lain yang masih
kurang. Dia menghampiriku yang sedang duduk di pojokan ruang rapat. Dengan
membungkukkan sedikit badanya, ia lalu menyapaku dengan sangat santun,
seolah-olah sangat takut kalau aku merasa terganggu. Dia lalu memperkenalkan
dirinya dan menjelaskan maksud tujuannya menyapaku.
Katanya, sebenarnya yang menjadi penanggung jawab untuk mengurus
adiwiyata di sekolahnya adalah guru yang waktu itu mengantarkanku berkeliling untuk
verifikasi lapangan beberapa bulan lalu. Tetapi bapak tersebut lagi berhalangan
hadir karena lagi di Samarinda, makanya dia yang mengambil alih tanggung jawab
tersebut.
Ia menungguiku sampai selesai memverifikasi berkas sekolah lain
yang sudah masuk sebelumnya. Sampai waktu makan siang tiba, aku meminta berkas
sekolahnya dan ia hanya menjawab, “makan dulu aja, bu. Saya bisa menunggu kok.”
Ada rasa tidak enak ketika ia berkata seperti itu. Dia jauh lebih
tua dariku, bahkan lebih tua dari orangtuaku dan aku membuatnya menunggu. Ah…betapa
tidak sopannya aku jika membuatnya menunggu. Tapi dia memaksa agar aku makan dulu.
Dia bahkan mengambilkan nasi kotak jatahku yang ditumpuk di meja dekat pintu dan
menaruhnya di samping laptopku. “Makan dulu, Bu”, katanya.
“Ngga usah panggil bu ke aku, bu. Aku ngga enak” pintaku.
“Ngga apa-apa,Bu Yani, santai aja”, balasnya
Ia menungguiku untuk mengecek berkas-berkasnya sampai tengah malam
di saat guru yang lain sudah pulang saat sore hari. Waktu itu hanya ada dua
orang guru yang menunggui kami memverifikasi berkas, ia dan salah satu guru
dari SMA 5 Balikpapan.
Esok harinya, aku datang jam 7 pagi dan dia sudah ada sebelum aku
datang. Begitu semangatnya dia. Aku juga tidak akan tanggung-tanggung untuk memverifikasi
berkas milik orang-orang seperti dia, orang-orang yang begitu semangat dalam
berjuang. Umur memang tidak menjadi alasan seseorang untuk berputus asa. Ketika
ada berkas yang kurang dan tidak terbawa olehnya, dia kembali lagi ke sekolahnya
untuk mengambil berkas tersebut, walaupun jarak sekolahnya itu lumayan jauh.
Siang harinya adalah waktu untuk mengirimkan penilaian akhir ke
Jakarta dan juga menjadi penentu sekolah mana saja yang akan menerima
penghargaan adiwiyata nasional. Begitu bahagianya dia ketika mengetahui sekolahnya
masuk di antara beberapa sekolah yang akan menerima penghargaan adiwiyata
nasional yang nantinya bakalan langsung diberikan oleh Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya Bakar. Kebahagian nampak jelas dari kedua
matanya. Walaupun sebenarya yang nanti bakalan bertemu langsung bu menteri itu
bukan dia, tetapi kepala sekolahnya.
Dan kemarin aku bertemu lagi dengannya, ia meyapaku dengan ramah
seperti sebelumnya.
“Apa kabar, Bu Yani?” tanyanya. Dia tetap memanggilku dengan embel-embel ibu di depan namaku.
“Apa kabar, Bu Yani?” tanyanya. Dia tetap memanggilku dengan embel-embel ibu di depan namaku.
Ternyata dia dan beberapa guru dari sekolah lain yang memfasilitasi
acara tersebut dengan meminjam ruangan di BLH Kota Balikpapan. Dia terlihat
sibuk mengatur apapun yang dijangkaunya. Termasuk mengangkat sekantong nasi
kotak dan membagikannya satu-persatu ke peserta yang hadir termasuk aku saat
waktu makan siang sudah tiba.
Saat selesai makan, dia mulai sibuk lagi memunguti kotak nasi kosong
yang berserakan di ruangan. Orang lain hanya asik berbincang-bincang dan kurang
mengindahkannya. Ia tetap asik memunguti kotak-kotak nasi tersebut lalu
meletakkannya di samping pintu keluar.
Sekali lagi aku kagum kepadanya…
Kebetulan waktu itu aku meminta nomor teleponnya karena sewaktu
berkunjung ke sekolahnya, murid-muridnya mempresentasikan tentang pupuk cair
organik dan aku berniat untuk membelinya. Sewaktu akan menyimpan nama dan nomornya
di list kontak handphoneku, dengan malu-malu aku menanyakan namanya.
“Faridah, Bu”, jawabnya.
“Maaf, bu. Aku lupa nama ibu”, lanjutku
Sambil senyum dia menjawab, “aku ingat nama Bu Yani”
Aihhh….malunya aku.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar