Suara adzan berkumandang dari masjid di belakang kosan. Matahari memang belum terbit, tapi aku sudah selesai merapikan diri bersiap untuk sholat subuh. Kugelar sajadah biru dan kukenakan mukena baliku. Tiba-tiba ada BBM singkat dari teman yang akan menjemputku “Adama’ di masjid depan ini. Habis subuh ketempatmu ka’ “
“Kasih panjang-panjang doamu supaya jangan terlalu cepat ke sini”
balasku.
Setelah selesai dengan ritual subuhku, pesan singkat mulai masuk
lagi “Miscscall ma kalau siap mi”
“Bah jemputnya” balasku lagi.
Aku bergegas keluar dari kosan dan ternyata yang kudapati adalah
pagar masih terkunci. Sempat berpikir untuk memanjat pagar besi setinggi 2
meter itu, tapi saat aku berbalik ke belakang. Pintu bapak kosan ternyata masih
terbuka dan beruntungnya lagi dia sedang tidur di ruang depan. Aku memberi
salam sambil mengetuk pintunya. Tidak
lama ia terbangun lalu tersenyum. Sepertinya ia sudah tahu maksudku
membangunkannya.
Aku berangkat ke Batu Dinding bersama temanku yang sudah pernah ke
sana sebelumnya. Jalanan saat subuh memang sangat sepi sehingga memungkinkan temanku
untuk memacu motornya dengan kecepatan 100 km/jam. Angin subuh menerpa mukaku, sejuk
rasanya. Tapi mata ini semakin berat. Kebiasaan yang sepertinya agak susah
untuk dihilangkan. Aku bisa tahan mengendarai motor berlama-lama, tapi tidak
tahan hanya menjadi seorang penumpang.
Perlahan kubuka mataku dan bertanya kepada temanku “Ini di kilo
berapa ya?”
“Kilometer 39” jawabnya singkat.
“Kilometer 39” jawabnya singkat.
“Hhehehehehe...sepertinya tadi aku tertidur deh”
Batu dinding berada di KM 45 poros Balikpapan – Samarinda. Kalau
dari arah Balikpapan, jalan masuknya berada di sebelah kiri. Terdapat gapura
kayu bercat putih bertuliskan “Batu Dinding” sebagai penanda.
Jarak dari jalan poros ke shelter
sebelum tracking ke Batu Dinding lumayan
jauh. Jalanannya masih berupa tanah coklat. Sepanjang perjalan, mata akan
dimanjakan dengan hamparan kebun buah naga yang sangat luas dan sesekali ada
kebun karet juga.
Dari atas motor, kuperhatikan seorang ibu sudah siap memanen getah
karetnya. Aku pernah mendengar penjelasan dari Kepala Pengelola Bukit Bangkirai
bahwa untuk mendapatkan hasil maksimal, getah karet sebaiknya dipanen pada pagi
hari. Hampir semua pohon buah naga mulai berbuah, sisa menunggu waktu agar
buahnya masak.
Shelter pertama,
berupa warung kecil yang terletak di sisi kiri jalan. Ada dua mobil yang
terparkir di sana. Ternyata sudah ada orang sebelum kami, padahal kami
berangkat pas setalah sholat subuh. Entah mereka berangkat jam berapa.
Shelter kedua
merupakan tempat parkir yang agak luas. Kurang lebih dua puluh motor sudah
terparkir saat kami tiba. Di sisi kanan terdapat pos penjagaan yang terbuat
dari kayu, tempat para pengunjung melapor dan membayar biaya kontribusi untuk
masuk ke Batu Dinding. Sebenarnya bukan loket pembayaran resmi, hanya warga
sekitar yang berinisiatif dan melihat peluang untuk mendapatkan penghasilan
tambahan. Untuk dua orang, kami harus membayar biaya sebesar Rp 15.000,00.
Tidak jauh dari pos tersebut, terdapat papan yang bertulis
“Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto”. Ternyata kawasan Batu Dinding masih termasuk
Kawasan Bukit Soeharto, kawasan yang memiliki peran penting di Kalimantan
Timur. Tapi di belakang papan tersebut
malah terdapat sejumlah lahan yang telah di”gunduli”.
Memerlukan waktu sekitar 30 menit unutk mencapai puncak Batu
Dinding dengan berjalan kaki. Kami sempat berpapasan dengan sepasangan
muda-mudi, mereka mungkin sudah selesai menikamti pemandangan di atas. Saya
sempat melempar senyum ke mereka dan dibalas dengan senyum yang lebih lebar.
Jalanannya lumayan menguras tenaga, menanjak dengan sudut kurang lebih 25°
bahkan ada beberapa track yang
tanjakannya sampai 45°.
Kami sempat berpapasan dengan beberapa pengendara motor yang
melalui tanjakan tersebut. Untung saja
hari itu tidak hujan, sehingga memungkinkan untuk motor bisa sampai ke shelter ketiga, shelter terakhir sebelum menanjak ke puncak. Banyak sampah kemasan
makanan dan minuman di sisi kanan pos tersebut. Sempat kutegur temanku untuk
tidak ikut-ikutan membuang sampah kemasannya di tumpukan sampah itu. “Tenang
aja, kan nanti dibakar” katanya. Sebenarnya dengan membakar sampah tidak menyelesaikan
masalah, malah bisa menambah polusi udara.
Jalur ke puncak sudah ditata sedemikian rupa agar cukup aman untuk
dilalui para pengunjung. Karena kalau tidak, salah melangkah nyawa bisa
melayang. Jalur sudah dilengkapi dengan pembatas jalan dan tangga-tangga yang
terbuat dari kayu untuk memudahkan pengunjung menapaki tanjakan yang agak tinggi.
Tidak heran tempat ini dijuluki “Batu Dinding” karena daerah ini memang
didominasi oleh batu-batuan. Tapi yang mengherankan, di atas puncak tersebut
kita dapat menemukan pasir yang hampir sama dengan pasir pantai.
Benar dugaanku sebelumnya, sudah banyak orang yang ada di puncak.
Ada yang duduk menikmati pemandangan sekitar, ada yang sibuk memotret
pemandangan, bahkan ada juga yang sibuk selfi-selfi dengan latar belakang Kawasan
Bukit Soeharto. Aku dan temanku terus berjalan melewati kumpulan orang-orang
itu sambil mencari tempat yang pas untuk menikmati pemandangan sambil sesekali
mengambil foto diri sendiri. Karena kurang berhati-hati, handphone yang dipakai oleh temanku untuk berfoto selfie jatuh dan
layarnya retak. Sebenarnya kami berniat untuk berburu sunrise di sana, tapi
ternyata pilihan waktu berangkat kami salah. Semestinya kami harus berangkat
sebelum sholat shubuh agar bisa menikmati matahari terbit dari atas barisan
bukit batu tersebut.
Cuaca hari itu sangat mendukung, agak sedikit berawan. Sehingga kami
bisa berlama-lama di puncak tanpa merasa kepanasan. Sesekali angin semilir
berhembus menambah suasana sejuk saat itu. Pohon-pohon hijau terbentang luas
mengelilingi barisan bukit batu tersebut. Tapi yang membuat miris di arah timur
terlihat lahan yang gundul. Cukup luas dan kemungkinan itu adalah daerah
tambang. Batu Dinding memang termasuk wilayah administratif Kabupaten Kutai
Kartanegara yang terkenal memiliki banyak daerah tambang batu bara.
Sangat disayangkan bahwa sudah banyak coret-coretan di dinding
batunya, sampah dimana-mana. Padahal sudah ada papan peringatan yang bertuliskan
“Gunung bukan tempat sampah!”
Satu persatu para pengunjung mulai turun, tapi tidak beberapa lama
kemudian rombongan baru sudah terlihat dari kejauhan. Kata bapak penjaga pos, tempat
ini selalu ramai pengunjung apalagi pas weekend.
Karena tempat ini merupakan salah satu tempat menarik untuk menikmati matahari
terbit.

itu didepan yg foto paling atas ada air terjun ama danaunya loh.. tinggal turun aja, cuma kalo salah jalan ya kesasar kaka.. hihihi.. :D
BalasHapus